Pages

Rabu, 28 Januari 2015

MUTIARA



MUTIARA YANG BERSINAR
            Ada yang mengatakan bahwa “tak kenal maka tak sayang”. Jadi, kenalan dulu yuk sama aku. Yah, namaku Mutiara dan sering dipanggil Ara. Kini aku duduk di kelas X SMK N 1 Taruna Bangsa, mengambil Kompetensi Keahlian Akuntansi. Teman-teman, Bapak/Ibu guru dan orang lain di sekitarku, mengenal diriku yang selalu energik, pemberani, selalu ceria dan pintar. Hhee :D
 Nah, sekarang giliran aku ngenalin ayah. Ayahku namanya Anto. Sosok laki-laki yang selalu mendorong dan memotivasi diriku dalam segala hal. Ayah hanya bekerja sebagai tukang parkir  dengan penghasilan yang sangat minim. Aku terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Namun aku selalu bermimpi besar untuk jadi yang lebih baik dari ini.


            Setiap hari aku berangkat sekolah dengan sepeda butut tua peninggalan kakekku. Mungkin di sekolahan itu adalah transportasi siswa yang paling katrok. Seringkali aku mendapat omongan pedas dari teman-temanku. Jika aku lewat mereka sering mencemooh seperti ini “Idih si gembel lewat. Minggir-minggir!” katanya sinis. Tapi aku tak pernah menghiraukannya. Bagiku cacian itu hanya masuk dari kuping kiri dan keluar dari kuping kanan, tidak ada yang nyanthol dalam benakku. Karena aku tahu, teman-teman yang mengejekku tidak jauh lebih sempurna dari aku. Mungkin iya mereka kaya, tetapi pengetahuan dan hati mereka kosong. Jadi, cacian tidak akan menggoyahkanku, itu justru menjadi benteng dan motivasi hidupku.
            Kata teman-teman, bapak/ibu guru, aku ini pandai. Tapi kurasa  aku hanya biasa-biasa saja. “ahhh, aku cuma biasa kok, masih banyak deretan orang pandai di atasku.” Tuturku dengan lembut setiap merespon orang yang memujiku. Nilai UASBN SDku Bahasa Indonesia: 9,80 Matematika: 10 dan IPA: 10 sedangkan nilai UN SMP Bahasa Indonesia: 10 Bahasa Inggris: 9,80 Matematika: 10 IPA:10. Menurutmu aku pandai nggak? Mungkin aku tidak terlalu cerdas, uangpun aku tidak punya. Tapi aku apa aku salah jika aku ingin bersekolah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara)?
            Aku selalu aktif dalam pembelajaran di kelas. Sebisa mungkin aku mengeksplorasi kemampuanku. Hingga aku menjadi dekat dengan guru akuntansi yang mengajar di kelasku. Sosok pengajar yang sangat cakap dalam berolah angka itu bernama Yeye. Aku manfaatkan kesempatan ini untuk mencari calah-celah mengikuti perlombaan-perlombaan.
            Pada waktu istirahat, di mana seluruh isi perut mulai keroncongan dan cuaca panas yang membuat dahaga, maka anak-anak mulai berjalan menuju kantin untuk melepas lapar dan dahaganya. Sementara aku hanya tinggal di kelas seorang diri, bertemankan buku besar, kalkulator, penggaris dan sekawannya. Aku masih sibuk menyelesaikan laporan keuangan yang tak kunjung selesai. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh seseorang dengan menepuk pundakku sambil berkata dengan lembut “Hey Ara?”. Ah itu ternyata Bu Yeye guru akuntansiku dengan suara khasnya serak-serak kering. Hhee . “Ahh ibu ngagetin Ara saja. Ada apa ya bu?” kataku dengan ekspresi masih kaget. Ternyata Bu Yeye ingin menawari aku untuk ikut olimpiade akuntansi. Ya lantas saja aku mau, itu kan ajang paling bergengsi guys. “Gimana Ara mau tidak?” tanyanya sekali lagi. “Iya bu,Ara mau. Terimakasih” kataku dengan kegirangan.
            2 bulan lagi lomba itu dimulai. Setiap hari aku belajar dengan sungguh-sungguh. Ku otak-atik angka demi angka. Kalau kalkulatorku bisa ngomong, mungkin ia akan mengeluh kecapekan karena aku gunakan terus. Ayahku selalu setia menemani setiap aku belajar, dia selalu memberi support dan memotivasiku. Sehingga aku lebih bersemangat lagi dalam belajar agar bisa membanggakan ayah Ibu. Sesekali ayah menggodaku sambil menyelipkan kata-kata penyemangat bagiku. “Ara?” goda ayah. “Iya yah” jawabku sambil sibuk menghitung angka. “Semangat ya, Ara pasti bisa” bisik ayah. Sejenak aku menoleh, menatap wajah ayah dan menganggukan kepala tanda mengiyakan. Aku bangga sekali memiliki seorang laki-laki yang seperti ayah. Dia adalah alasan mengapa aku harus berhasil. Karena aku hanya ingin melihat ayah tersenyum  bangga denganku.
            Seminggu sebelum olimpiade dimulai, aku berlatih setiap hari di rumah Bu Yeye. Aku menjalani latihan dengan sungguh-sungguh dan fun. Sore itu aku latihan sampai jam 5 sore. Lalu aku berpamitan dengan Bu Yeye dan pulang.
            Matahari mulai singgah ke peraduannya, ku goes sepedaku perlahan, sambil menikmati indahnya desaku. Ku tengok kanan kiri, terlihat para petani yang sedang pulang dari sawahnya. Melihat indahnya padi-padi yang telah menguning dan membentang begitu luas. Dan bergoyang dihempas angin sepoi-sepoi. Serasa adem ayem dan menyejukkan hati. Terlihat panorama yang begitu menakjubkan. Gunung-gunung yang berderet menjulang tinggi, burung-burung yang beterbangan kesana kemari, sejenak melepaskan angka-angka yang melayang di pikiranku. Tanpa kusadari ternyata aku sudah hampir sampai rumah.
            Sesampainya di rumah, kulihat banyak orang memenuhi rumahku. Aku begitu cemas. “Ada apa ini? Kenapa ada banyak orang berkerumun di rumahku?” tanyaku dalam hati. Langkah demi lagkah kujejakan perlahan dam sampailah aku di depan pintu rumah. Dari celah kerumunan orang-orang itu terlihat sosok pria yang sedang berbaring. Kupikir itu ayah. Banyak orang menangis saat itu. Aku semakin bingung, hatiku semakin mengecamuk. “Ada apa ini? Ayah kenapa?” aku bertanya dalam hati. Perlahan aku mendekati sosok yang sedang berbaring itu. Ku trobos orang-orang, hingga aku sampai tepat di depan orang itu. Itu adalah ayah. Aku bisikkan kata-kata kepada ayah sambil mencucurkan airmata. “Ayah ayah, ayah kenapa?” bisikku dengan suara lirih. “Raaa” ayah memanggil aku. “Iya ayah ada apa?” jawabku dengan terus meneteskan airmata. “Aayahh sudah tidak kuat lagi Raa, kakamuu belaajar yang rajin. Semangat buat kamu, semoga kamu jadi orang yang berhasil, dan cita-citamu terwujud. Aayah sayang sama Ara” kata ayahku tidak jelas sambil menahan rasa sakitnya. Sungguh miris melihat ayah seperti itu. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi, aku hanya menganggukan kepala, airmata tak berhenti menetes. “Ayyaahhhh!!!!” aku berteriak sekerasnya. Ayah menutupkan kedua matanya, denyut nadi dan jantungnya sudah tak berdetak. Mungkin ayah sudah terlalu sakit menahan sakit jantung dan saraf yang dideritanya. Tuhan telah memanggil ayah untuk menghadapNya. Begitu hancur hatiku. Aku kehilangan sosok yang sangat berharga dalm hidupku.
            Hari itu acara pemakaman telah selesai. Aku masih terdiam di tempat itu. Ku berdoa untuk ayah sambil mencucurkan airmata. “ Ayah mengapa ayah meninggalkan Ara? Ara mau sama siapa lagi yah? Ayah yang selalu memotivasiku, memberi semangat dalam hidupku sekarang telah hilang. Mengapa ayah pergi disaat 2 Hari kedepan aku akan mengikuti lomba? seharusnya ayah ada di sampingku dan tersenyum bangga denganku.” Ucapku lirih. Kini aku tak memiliki semangat lagi, hidupku menjadi berantakan. Aku yang dulunya energik, semangat, dan selalu ceria, kini menjadi orang yang pemurung, pendiam dan pasif. Olimpiade akuntansiku hancur karena aku down, aku tak mendapat apapun dari olimpiade tersebut. Nilai pelajaranku turun drastis. Sungguh hidupku menjadi tak berdaya setelah kepergian ayahku.
            Suatu hari aku nyekar di makam ayah. Sunyi, hempasan angin yang menggoyangkan daun kamboja di waktu senja membuatku khusuk berdoa. Disitu aku merenung akan kehidupanku yang amburadul. Tiba-tiba aku melihat seperti ada cahaya putih yang begitu terang. Tersadar bahwa itu ayah “Ara kenapa kamu jadi seperti ini? Mana Araku yang dulu selalu semangat dan ceria? Ayah mungkin sudah tidak berada di samping Ara, tapi ayah selalu di hati Ara, menyuport Ara dan selalu bangga dengan Ara. Ayah akan tersenyum jika melihat Ara meraih apa yang Ara cita-citakan. Ara, jadilah Mutiara yang bersinar!!” terdengar suara ayah yang sedang berbicara padaku. Mulai dari saat itu, aku menjadi semangat lagi dalam menjalani hidup. Hidupku menjadi penuh warna. Dalam belajarpun aku menjadi lebih bersemangat karena aku ingin membuat ayah bangga dan bisa tersenyum disana. Alhasil aku memperoleh nilai yang memuaskan dalam belajarku.
            Kini aku duduk di kelas XI. Pada pagi hari aku lewat di depan kantor guru,tiba-tiba Bu Yeye memanggilku. Kusapa dia dan kucium tangannya. “Pagi bu, maaf ada apa ya?” tanyaku bersemangat. “Begini Ara, ibu mau menawarkan sama kamu untuk mengikuti olimpiade akuntansi lagi. Bagaimana?” ucap beliau. “Tapi bu, olimpiade kemarin kan saya tidak juara bu. Kenapa ibu tidak memilih yang lain? Kan sayang kalau sekolah kita kalah lagi.” Kata Ara dengan lesu teringat peristiwa lalu. “Tidak Ara, ibu yakin kalau Ara bisa, pasti bisa. Ara kan orangnya pandai.” Bu Yeye meyakinkan. “Oke bu, kata-kata ibu membuat saya bersemangat, saya akan berusaha untuk jadi yang terbaik” jawab Ara.
            Mulai saat itu, aku semangat berlatih dan terus berlatih. Ditemani kalkulator dan buku-bukuku. Oleh karena semangatku yang luar biasa, Tuhan juga memberi anugerah yang luar biasa. Aku meraih juara 1 nasional untuk olimpiade akuntansi. “Tuhan terimakasih sungguh terimakasih atas semua karyaMu. Ayah hasil ini untukmu” ucapku bersyukur pada Tuhan.
            1 tahun kemudian, aku memperoleh undangan untuk bersekolah di STAN. Sekolah tinggi yang sangat aku inginkan, kini di depan mata. Syukur kepada Tuhan selalu aku panjatkan. Setelah aku lulus dari STAN. Tuhan memberiku berkah yang sungguh besar padaku. Aku sekarang bekerja di Depertemen Perpajakan. Semua yang dulunya hanya mimpi kini menjadi kenyataan. Aku yang dulunya tidak punya apa-apa, bisa memiliki apa-apa. Dan Mutiara yang bersinar yang diinginkan ayah kini terwujud.
Jangan mudah menyerah dalam kehidupan ini, teruslah bersemangat dan gapailah mimpimu hingga terwujud J


0 komentar:

Posting Komentar