MUTIARA YANG BERSINAR
Ada yang
mengatakan bahwa “tak kenal maka tak sayang”. Jadi, kenalan dulu yuk sama aku.
Yah, namaku Mutiara dan sering dipanggil Ara. Kini aku duduk di kelas X SMK N 1
Taruna Bangsa, mengambil Kompetensi Keahlian Akuntansi. Teman-teman, Bapak/Ibu
guru dan orang lain di sekitarku, mengenal diriku yang selalu energik,
pemberani, selalu ceria dan pintar. Hhee :D
Nah, sekarang giliran aku ngenalin ayah.
Ayahku namanya Anto. Sosok laki-laki yang selalu mendorong dan memotivasi
diriku dalam segala hal. Ayah hanya bekerja sebagai tukang parkir dengan penghasilan yang sangat minim. Aku
terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Namun aku selalu bermimpi besar untuk
jadi yang lebih baik dari ini.
Setiap hari aku berangkat sekolah
dengan sepeda butut tua peninggalan kakekku. Mungkin di sekolahan itu adalah
transportasi siswa yang paling katrok. Seringkali aku mendapat omongan pedas
dari teman-temanku. Jika aku lewat mereka sering mencemooh seperti ini “Idih si
gembel lewat. Minggir-minggir!” katanya sinis. Tapi aku tak pernah
menghiraukannya. Bagiku cacian itu hanya masuk dari kuping kiri dan keluar dari
kuping kanan, tidak ada yang nyanthol dalam
benakku. Karena aku tahu, teman-teman yang mengejekku tidak jauh lebih sempurna
dari aku. Mungkin iya mereka kaya, tetapi pengetahuan dan hati mereka kosong.
Jadi, cacian tidak akan menggoyahkanku, itu justru menjadi benteng dan motivasi
hidupku.
Kata teman-teman, bapak/ibu guru,
aku ini pandai. Tapi kurasa aku hanya biasa-biasa
saja. “ahhh, aku cuma biasa kok, masih banyak deretan orang pandai di atasku.”
Tuturku dengan lembut setiap merespon orang yang memujiku. Nilai UASBN SDku
Bahasa Indonesia: 9,80 Matematika: 10 dan IPA: 10 sedangkan nilai UN SMP Bahasa
Indonesia: 10 Bahasa Inggris: 9,80 Matematika: 10 IPA:10. Menurutmu aku pandai
nggak? Mungkin aku tidak terlalu cerdas, uangpun aku tidak punya. Tapi aku apa
aku salah jika aku ingin bersekolah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara)?
Aku selalu aktif dalam pembelajaran
di kelas. Sebisa mungkin aku mengeksplorasi kemampuanku. Hingga aku menjadi
dekat dengan guru akuntansi yang mengajar di kelasku. Sosok pengajar yang
sangat cakap dalam berolah angka itu bernama Yeye. Aku manfaatkan kesempatan
ini untuk mencari calah-celah mengikuti perlombaan-perlombaan.
Pada waktu istirahat, di mana
seluruh isi perut mulai keroncongan dan cuaca panas yang membuat dahaga, maka
anak-anak mulai berjalan menuju kantin untuk melepas lapar dan dahaganya.
Sementara aku hanya tinggal di kelas seorang diri, bertemankan buku besar,
kalkulator, penggaris dan sekawannya. Aku masih sibuk menyelesaikan laporan
keuangan yang tak kunjung selesai. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh seseorang
dengan menepuk pundakku sambil berkata dengan lembut “Hey Ara?”. Ah itu
ternyata Bu Yeye guru akuntansiku dengan suara khasnya serak-serak kering. Hhee
. “Ahh ibu ngagetin Ara saja. Ada apa ya bu?” kataku dengan ekspresi masih
kaget. Ternyata Bu Yeye ingin menawari aku untuk ikut olimpiade akuntansi. Ya
lantas saja aku mau, itu kan ajang paling bergengsi guys. “Gimana Ara mau
tidak?” tanyanya sekali lagi. “Iya bu,Ara mau. Terimakasih” kataku dengan
kegirangan.
2 bulan lagi lomba itu dimulai.
Setiap hari aku belajar dengan sungguh-sungguh. Ku otak-atik angka demi angka.
Kalau kalkulatorku bisa ngomong, mungkin ia akan mengeluh kecapekan karena aku
gunakan terus. Ayahku selalu setia menemani setiap aku belajar, dia selalu
memberi support dan memotivasiku. Sehingga aku lebih bersemangat lagi dalam
belajar agar bisa membanggakan ayah Ibu. Sesekali ayah menggodaku sambil
menyelipkan kata-kata penyemangat bagiku. “Ara?” goda ayah. “Iya yah” jawabku
sambil sibuk menghitung angka. “Semangat ya, Ara pasti bisa” bisik ayah.
Sejenak aku menoleh, menatap wajah ayah dan menganggukan kepala tanda
mengiyakan. Aku bangga sekali memiliki seorang laki-laki yang seperti ayah. Dia
adalah alasan mengapa aku harus berhasil. Karena aku hanya ingin melihat ayah
tersenyum bangga denganku.
Seminggu sebelum olimpiade dimulai,
aku berlatih setiap hari di rumah Bu Yeye. Aku menjalani latihan dengan
sungguh-sungguh dan fun. Sore itu aku
latihan sampai jam 5 sore. Lalu aku berpamitan dengan Bu Yeye dan pulang.
Matahari mulai singgah ke
peraduannya, ku goes sepedaku perlahan, sambil menikmati indahnya desaku. Ku
tengok kanan kiri, terlihat para petani yang sedang pulang dari sawahnya.
Melihat indahnya padi-padi yang telah menguning dan membentang begitu luas. Dan
bergoyang dihempas angin sepoi-sepoi. Serasa adem ayem dan menyejukkan hati. Terlihat panorama yang begitu
menakjubkan. Gunung-gunung yang berderet menjulang tinggi, burung-burung yang
beterbangan kesana kemari, sejenak melepaskan angka-angka yang melayang di
pikiranku. Tanpa kusadari ternyata aku sudah hampir sampai rumah.
Sesampainya di rumah, kulihat banyak
orang memenuhi rumahku. Aku begitu cemas. “Ada apa ini? Kenapa ada banyak orang
berkerumun di rumahku?” tanyaku dalam hati. Langkah demi lagkah kujejakan
perlahan dam sampailah aku di depan pintu rumah. Dari celah kerumunan
orang-orang itu terlihat sosok pria yang sedang berbaring. Kupikir itu ayah.
Banyak orang menangis saat itu. Aku semakin bingung, hatiku semakin mengecamuk.
“Ada apa ini? Ayah kenapa?” aku bertanya dalam hati. Perlahan aku mendekati
sosok yang sedang berbaring itu. Ku trobos orang-orang, hingga aku sampai tepat
di depan orang itu. Itu adalah ayah. Aku bisikkan kata-kata kepada ayah sambil
mencucurkan airmata. “Ayah ayah, ayah kenapa?” bisikku dengan suara lirih.
“Raaa” ayah memanggil aku. “Iya ayah ada apa?” jawabku dengan terus meneteskan
airmata. “Aayahh sudah tidak kuat lagi Raa,
kakamuu belaajar yang rajin. Semangat buat
kamu, semoga kamu jadi orang yang berhasil, dan cita-citamu terwujud. Aayah sayang
sama Ara” kata ayahku tidak jelas sambil menahan rasa sakitnya. Sungguh miris
melihat ayah seperti itu. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi, aku hanya
menganggukan kepala, airmata tak berhenti menetes. “Ayyaahhhh!!!!” aku
berteriak sekerasnya. Ayah menutupkan kedua matanya, denyut nadi dan jantungnya
sudah tak berdetak. Mungkin ayah sudah terlalu sakit menahan sakit jantung dan
saraf yang dideritanya. Tuhan telah memanggil ayah untuk menghadapNya. Begitu
hancur hatiku. Aku kehilangan sosok yang sangat berharga dalm hidupku.
Hari itu acara pemakaman telah
selesai. Aku masih terdiam di tempat itu. Ku berdoa untuk ayah sambil
mencucurkan airmata. “ Ayah mengapa ayah meninggalkan Ara? Ara mau sama siapa
lagi yah? Ayah yang selalu memotivasiku, memberi semangat dalam hidupku
sekarang telah hilang. Mengapa ayah pergi disaat 2 Hari kedepan aku akan
mengikuti lomba? seharusnya ayah ada di sampingku dan tersenyum bangga
denganku.” Ucapku lirih. Kini aku tak memiliki semangat lagi, hidupku menjadi
berantakan. Aku yang dulunya energik, semangat, dan selalu ceria, kini menjadi
orang yang pemurung, pendiam dan pasif. Olimpiade akuntansiku hancur karena aku
down, aku tak mendapat apapun dari olimpiade tersebut. Nilai pelajaranku turun
drastis. Sungguh hidupku menjadi tak berdaya setelah kepergian ayahku.
Suatu hari aku nyekar di makam ayah.
Sunyi, hempasan angin yang menggoyangkan daun kamboja di waktu senja membuatku
khusuk berdoa. Disitu aku merenung akan kehidupanku yang amburadul. Tiba-tiba
aku melihat seperti ada cahaya putih yang begitu terang. Tersadar bahwa itu
ayah “Ara kenapa kamu jadi seperti ini? Mana Araku yang dulu selalu semangat
dan ceria? Ayah mungkin sudah tidak berada di samping Ara, tapi ayah selalu di
hati Ara, menyuport Ara dan selalu bangga dengan Ara. Ayah akan tersenyum jika
melihat Ara meraih apa yang Ara cita-citakan. Ara, jadilah Mutiara yang bersinar!!”
terdengar suara ayah yang sedang berbicara padaku. Mulai dari saat itu, aku
menjadi semangat lagi dalam menjalani hidup. Hidupku menjadi penuh warna. Dalam
belajarpun aku menjadi lebih bersemangat karena aku ingin membuat ayah bangga
dan bisa tersenyum disana. Alhasil aku memperoleh nilai yang memuaskan dalam
belajarku.
Kini aku duduk di kelas XI. Pada
pagi hari aku lewat di depan kantor guru,tiba-tiba Bu Yeye memanggilku. Kusapa
dia dan kucium tangannya. “Pagi bu, maaf ada apa ya?” tanyaku bersemangat.
“Begini Ara, ibu mau menawarkan sama kamu untuk mengikuti olimpiade akuntansi
lagi. Bagaimana?” ucap beliau. “Tapi bu, olimpiade kemarin kan saya tidak juara
bu. Kenapa ibu tidak memilih yang lain? Kan sayang kalau sekolah kita kalah
lagi.” Kata Ara dengan lesu teringat peristiwa lalu. “Tidak Ara, ibu yakin
kalau Ara bisa, pasti bisa. Ara kan orangnya pandai.” Bu Yeye meyakinkan. “Oke
bu, kata-kata ibu membuat saya bersemangat, saya akan berusaha untuk jadi yang
terbaik” jawab Ara.
Mulai saat itu, aku semangat
berlatih dan terus berlatih. Ditemani kalkulator dan buku-bukuku. Oleh karena
semangatku yang luar biasa, Tuhan juga memberi anugerah yang luar biasa. Aku
meraih juara 1 nasional untuk olimpiade akuntansi. “Tuhan terimakasih sungguh
terimakasih atas semua karyaMu. Ayah hasil ini untukmu” ucapku bersyukur pada
Tuhan.
1 tahun kemudian, aku memperoleh
undangan untuk bersekolah di STAN. Sekolah tinggi yang sangat aku inginkan,
kini di depan mata. Syukur kepada Tuhan selalu aku panjatkan. Setelah aku lulus
dari STAN. Tuhan memberiku berkah yang sungguh besar padaku. Aku sekarang
bekerja di Depertemen Perpajakan. Semua yang dulunya hanya mimpi kini menjadi
kenyataan. Aku yang dulunya tidak punya apa-apa, bisa memiliki apa-apa. Dan
Mutiara yang bersinar yang diinginkan ayah kini terwujud.
Jangan
mudah menyerah dalam kehidupan ini, teruslah bersemangat dan gapailah mimpimu
hingga terwujud J
0 komentar:
Posting Komentar